Tuesday, November 13, 2012

Perubahan Sosial

 

Perubahan Sosial bagi Kehidupan Sosial



        Terdapat beberapa tanggapan masyarakat sebagai dampak perubahan sosial yang menimbulkan suatu ketidakpuasan, penyimpangan masyarakat, ketinggalan, atau ketidaktahuan adanya perubahan, yaitu sebagai berikut.
  1. Perubahan yang diterima masyarakat kadang-kadang tidak sesuai dengan keinginan. Hal ini karena setiap orang memiliki gagasan mengenai perubahan yang mereka anggap baik sehingga perubahan yang terjadi dapat ditafsirkan bermacam-macam, sesuai dengan nilai-nilai sosial yang mereka miliki.
  2. Perubahan mengancam kepentingan pihak yang sudah mapan. Hak istimewa yang diterima dari masyarakat akan berkurang atau menghilang sehingga perubahan dianggapnya akan mengancangkan berbagai aspek kehidupan. Untuk mencegahnya, setiap perubahan harus dihindari dan ditentang karena tidak sesuai kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
  3. Perubahan dianggap sebagai suatu kemajuan sehingga setiap perubahan harus diikuti tanpa dilihat untung ruginya bagi kehidupan. Pembahan juga dianggap membawa nilai-nilai baru yang modern.
  4. Ketidaktahuan pada perubahan yang terjadi. Hal ini meng­akibatkan seseorang ketinggalan informasi tentang perkem­bangan dunia.
  5. Masa bodoh terhadap perubahan. Hal itu disebabkan perubahan sosial yang terjadi dianggap tidak akan menimbulkan pengaruh bagi dirinya.
  6. Ketidaksiapan menghadapi perubahan. Pengetahuan dan kemampuan seseorang terbatas, dampak perubahan sosial yang terjadi ia tidak memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

          Masalah yang muncul atau dampak perubahan sosial

 Perubahan sosial mengakibatkan terjadinya masalah-masalah sosial seperti kejahatan, atau kenakalan remaja. Meskipun begitu, tidak setiap masalah yang terjadi pada masyarakat disebut masalah sosial. Menurut Merton (dalam Soekanto), suatu masalah disebut masalah sosial jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu sebagai berikut:
  1. Tidak adanya kesesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial.
  2. Semula ada pendapat keliru yang menyatakan bahwa masalah sosial bersumber secara langsung pada kondisi-kondisi ataupun proses-proses sosial. Pendapat tersebut tidak memuaskan dan telah ditinggalkan. Hal pokok di sini bukanlah sumbernya, melainkan akibat dari gejala tersebut (baik gejala sosial maupun gejala bukan sosial yang menyebabkan terjadinya masalah sosial.
  3. Pihak-pihak yang menetapkan apakah suatu kepincangan merupakan masalah sosial atau tidak. Dalam hal ini, urutannya sangat relatif.
  4. Adanya masalah-masalah sosial yang terbuka dan masalah-masalah sosial yang tertutup. Masalah sosial tersebut timbul akibat terjadinya kepincangan-kepincangan masyarakat karena tidak sesuainya tindakan-tindakan dengan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Akibat hal tersebut, masyarakat tidak menyukai tindakan-tindakan yang menyimpang dan berlawanan dengan nilai-nilai yang berlaku.
       Masalah sosial merupakan proses terjadinya ketidaksesuaian antara unsur-unsur dalam kebudayaan suatu masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok-kelompok sosial. Dengan kata lain, masalah sosial menyebabkan terjadinya hambatan dalam pemenuhan kebutuhan warga masyarakat. Hal itu berakibat terjadi disintegrasi sosial atau rusaknya ikatan sosial.
Proses disintegrasi sebagai akibat atau dampak perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat berbentuk antara lain sebagai berikut :

1.      Pergolakan dan Pemberontakan
Proklamasi dikumandangkan sebagai pernyataan kemerdekaan Indonesia dapat diterima di berbagai daerah walaupun tidak secara bersamaan. Rakyat menyambut dan mendukungnya. Oleh karena itu, segera dibentuk suatu tatanan dan kehidupan sosial baru. Rangkaian peristiwa itu disebut revolusi. Adanya pergolakan dan pemberontakan di berbagai daerah pascakemerdekaan, berlujuan untuk menjatuhkan kedudukan penguasa pada saat itu, sekaligus menyatakan kelidaksetujuan mereka terhadap ideologi pemerintah.

2.      Aksi Protes dan Demonstrasi
Aksi protes disebut juga unjuk rasa yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Hal itu terjadi karena setiap orang memiliki pendapat dan pandangan yang mungkin berbeda. Protes dapat terjadi apabila suatu hal menimpa kepentingan individu atau kelompok secara langsung sebagai akibat dari rasa ketidakadilan akan hak yang harus diterima. Akibatnya, individu atau kelompok tersebut tidak puas dan melakukan tindakan penyelesaian.
Protes merupakan aksi tanpa kekerasan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat terhadap suatu kekuasaan. Protes dapat pula terjadi secara tidak langsung sebagai rasa solidaritas antarsesama karena kesewenang-wenangan pihak tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan bagi orang lain.

3.      Kriminalitas
Perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan memberi peluang bagi setiap orang untuk berubah, tetapi perubahan tersebut tidak membawa setiap orang ke arah yang dicita-citakan. Hal ini berakibat terjadinya perbedaan sosial berdasarkan kekayaan, pengetahuan, perilaku, ataupun pergaulan. Perubahan sosial tersebut dapat membawa seseorang atau kelompok ke arah tindakan yang menyimpang karena dipengaruhi keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi atau terpuaskan dalam kehidupannya.
Perbuatan kriminal yang muncul di masyarakat secara khusus akan diuraikan sebagai akibat terjadinya perubahan sosial yang menimbulkan kesenjangan kehidupan atau jauhnya ketidaksamaan sosial. Akibatnya, tidak semua orang mendapat kebahagiaan yang sama. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan setiap orang memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap hak dan kewajibannya. Setiap orang harus mendapat hak disesuaikan dengan kewajiban yang dilakukan.

4.       Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Bangsa Indonesia yang sedang membangun perlu memiliki sistem administrasi yang bersih dan berwibawa, bebas dari segala korupsi, kolusi, dan nepotisme. Masalah korupsi menyangkut berbagai aspek sosial dan budaya maka Bung Hatta (dalam Mubyarto) mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya. Apabila hal ini sudah membudaya di kalangan bangsa Indonesia atau sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa akan sulit untuk diberantas. Akibatnya, ha! tersebut akan menghambat proses pembangunan nasional. Untuk memberantas korupsi, tidak hanya satu atau beberapa lembaga pemerintahan saja yang harus berperan, tetapi seluruh rakyat Indonesia harus bertekad untuk menghilangkan korupsi.

5.       Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja merupakan disintergasi dari keutuhan suatu masyarakat. Hal itu karena tindakan yang mereka lakukan dapat meresahkan masyarakat Oleh karena itu, kenakalan remaja disebut sebagai masalah sosial. Munculnya kenakalan remaja merupakan gejolak kehidupan yang disebabkan adanya perubahan-perubahan sosial di masyarakat, seperti pergeseran fungsi keluarga karena kedua orangtua bekerja sehingga peranan pendidikan keluarga menjadi berkurang.
Selain itu, pergeseran nilai dan norma masyarakat menga­kibatkan berkembangnya sifat individualisme. Juga pergeseran struktur masyarakat mengakibatkan masyarakat lebih menyerahkan setiap permasalahan kepada yang berwenang. Perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan unsur budaya lainnya dapat mengakibatkan disintegrasi.


Wednesday, November 7, 2012

SOSIOLOGI AKTIFITAS 150

Mayoritas-Minoritas dalam Berbangsa


Mayoritas dan minoritas adalah terminologi sosiologis untuk merujuk kuantitas individu yang berhimpun dalam suatu kesatuan etnisitas. Sebagai sebuah konsep, istilah ini sering digunakan untuk membangun kerangka analisis relasi sosial satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Sebagai sebuah diksi, mayoritas-minoritas sesungguhnya sudah mengandung makna politik di mana yang satu merujuk pada kumpulan individu yang berjumlah banyak dan biasanya lebih supreme dalam banyak hal; sedangkan yang satu lagi merujuk pada kumpulan individu yang lebih sedikit, yang secara kuantitas tidak mungkin lebih supremedari yang mayoritas.
Kumpulan banyak individu dan kumpulan sedikit individu sejatinya merupakan fakta sosiologis sebuah komunitas. Karena itu, sejatinya pula siapapun yang berhimpun dalam kelompok manapun tetap memiliki hak, kesempatan, dan akses yang sama dalam segala hal. Namun demikian, ketika soal mayoritas-minoritas hadir di tengah kontestasi politik sebuah bangsa, maka kedua terminologi ini semakin menampakkan makna poltiknya. Istilah relasi mayoritas versus minoritas merupakan rangkaian kata yang meletakkan kedua istilah itu saling berlawanan karena itu relasi keduanya harus didesain agar tetap terbangun hubungan yang harmonis, tanpa diskriminasi, dan meletakkan siapapun yang berhimpun di dalamnya tetap setara.
Dalil Mayoritas
Dengan menggunakan cara pandang di atas, semestinya bangsa Indonesia tidak lagi mengidap soal terkait relasi mayoritas-minoritas dalam hidup berbangsa. Apalagi Konstitusi RI secara tegas meletakkan seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki hak dan jaminan konstitusional yang sama. Tapi, perkembangan mutakhir dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang mencemaskan. Daftar kecemasan muncul dari kecenderungan intoleransi sesama warga yang semakin eskalatif. Tindakan intoleran mewujud dalam banyak hal: 28 rumah ibadah diserang, disegel atau dirusak sepanjang Januari-Juli 2010 (SETARA Institute, 2010), penghalang-halangan kegiatan ibadah, tiga peristiwa penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah sepanjang bulan Juli, bentrokan organisasi masyarakat berbasis identitas tertentu, dan berbagai bentuk penghakiman massa lainnya.
Daftar kecemasan juga mewujud melalui kehendak politik sejumlah elit politik, organisasi massa berbasis agama, dan dukungan manipulatif massa di berbagai wilayah yang menghendaki penerapan norma agama tertentu (baca: syariah Islam) melalui produksi peraturan perundang-undangan. Semua tindakan intoleran dan kehendak politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas semuanya didasarkan pada logika mayoritas. Semua tindakan dan kehendak politik itu dinilai sahih karena dalil mayoritas. Sementara para korban tindakan intoleran dianggap sahih dan menjadi sasaran penyeragaman karena secara sosiologis dianggap minoritas. Argumen ‘sesat’ dan mengganggu ‘ketertiban umum’ adalah pembalut niat menegaskan identitas politik kelompok mayoritas.
Dimensi sosiologis dalam produksi sebuah kebijakan dan penegakannya telah menjadi pertimbangan pertama dan utama oleh para penyelenggara negara meski mengingkari Konstitusi RI dan fakta sosiologis itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah negeri yang menganut paham konstitusional para penyelenggaranya tunduk pada tekanan dan persekusi massa! Berbagai gambaran peristiwa yang terjadi belakangan menampakkan secara jelas bagaimana logika mayoritas bekerja.
Memang dalam disiplin Ilmu Hukum dan Ilmu Perundang-undang dimensi sosiologis menjadi variabel penilai kepekaan sebuah produk perundang-undang. Semakin peka dan akomodatif terhadap kebutuhan publik maka produk hukum dan penegakan hukum semakin mampu mengikis resistensi publik. Apalagi salah satu tujuan pembentukan produk hukum adalah menjawab kebutuhan publik. Tapi penempatan dan penggunaan argumen sosiologis tanpa batas tentu saja bukan desain yang diharapkan dari kajian Sosiologi Hukum.
Kesadaran Orsinal
Kecenderungan mutakhir menguatnya arus politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas sesungguhnya telah diingatkan oleh founding fathers negara-bangsa Indonesia. Perdebatan sehat yang terjadi di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di tahun 1945 menggambarkan bagaimana para Pendiri Bangsa memiliki kesadaran orsinal dalam meletakkan bangunan relasi mayoritas-minoritas. Upaya menyusun Konstitusi RI yang mampu mengakomodasi semua golongan dan menjamin hak-hak asasi manusia tanpa terkecuali bukanlah bentuk kekalahan politik golongan Islam atas golongan Kebangsaan. Tapi justru bentuk kesadaran orsinal wakil-wakil dari golongan Islam yang mayoritas.
Para Pendiri Bangsa menyadari fakta sosiologis bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dan tidak mungkin diseragamkan apalagi dengan menggunakan instrumen konstitusi negara. Demikian juga kesadaran orsinal itu mewujud pada, meskipun pada dasarnya setiap warga yang beragama berkewajiban menjalankan ajaran-ajarannya tapi pencantuman pewajiban melaksanakan ajaran agama dalam Konstitusi RI akhirnya dihilangkan. Kesadaran orsinal semacam ini yang sekarang telah terkikis dalam kehidupan berbangsa. Bukan saja di kalangan masyarakat umum tapi juga di kalangan para penyelenggara negara itu sendiri.
Berbagai tindakan intoleran dan kehendak politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas semakin subur di tengah kemiskinan ide dan kapital politik para elit politik. Elit politik berkepentingan terhadap dukungan publik atas kepemimpinannya, sehingga dalil mayoritas menjadi pembenar langkah pemerintah mengambil sebuah keputusan, meski keputusan itu inkonstitusional. Sementara kelompok penekan dan pelaku persekusi memiliki kepentingan untuk secara terus menerus mendongkrak bargaining position di hadapan elit politik dan juga di aras publik.
Impunitas pelaku kekerasan atas nama agama secara nyata telah menjadi preseden bagi kelompok lain di tempat lain untuk melakukan hal serupa. Ketidakmampuan institusi negara menghukum pelaku kriminal telah berkontribusi pada eskalasi tindakan intoleran.
Merawat Indonesia yang plural, toleran, dan damai hanya bisa dilakukan jika elemen bangsa mampu menumbuhkan kesadaran orsinal untuk mengakui keberagaman, membiarkannya berbeda, dan menegaskan jaminan bagi setiap orang memiliki hak, kesempatan dan akses yang setara.

TUGAS SOSIOLOGI HAL 151



DIFATUULAN, GENERASI MUDA DAN TUA BERJARAK, 
KEMUDIAN BERSAMA


      Membicarakan pemuda sepertimemecak diri didepan kaca karena bagi kelompok yang lebih muda, kegiatan ini biasanya menggugah mereka untuk melakukan sesuatu yang lenih baik diwaktu mendatang.
Sebaliknya bagi anggota masyarakat yang berusia tua, hal ini seperti mengkilas balik hidup mereka dan membandingkannya dengan yang sekarang.
    Sudah saatnya kita berhenti bermain sandiwara dan membohongi diri sendiri seperti itu.
Yang penting adalah bagaimana kita dapat hidup damai dengan kenyataan adanya berbagai golongan dalam masyarakat kita, mayoritas maupun minoritas. Lebih penting lagi, bagaimana kita menjalin hubungan serta kerjasama secara damai, saling menerima, saling menghormati, dan saling membantu, antara berbagai golongan itu dalam masyarakat sebagai suatu bangsa.
      Tujuan utama menjalin hubungan demikian itu adalah menghilangkan prasangka dan kebencian. Hanya dengan itu kita dapat bersama-sama mengusahakan kesejahteraan bersama.Jalan ke arah tujuan itu amat jauh, berliku-liku, dan banyak sandungannya.
Kesulitan mencapai tujuan itu pernah digambarkan demikian. Seorang perantau bertanya kepada seorang penduduk desa tentang jalan menuju suatu kota yang menjadi tujuan berikutnya. Jawabnya, “Terus saja ke selatan, lalu belok ke kiri. Oh, maaf, jangan, jembatannya rusak di situ. Ikuti saja jalan ke timur. Eh, jangan, jalan itu terlalu berlumpur.”
Orang desa itu lalu menengadah ke langit, seakan berpikir. Lalu katanya : “ Kalau hendak ke kota itu, mestinya Bapak tidak mulai dari sini.”
Masalah mayoritas-minoritas ini sejak kerusuhan tgl.13-14 Mei yang lalu telah semakin menonjol dan menjadi perhatian dan bahan pembicaraan luas, khususnya yang menyangkut orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa. Dapat diduga, lebih banyak dari kalangan mereka ini dartipada kelompok orang-orang lain, minoritas ataupun mayoritas, yang menjadi korban penjarahan, pembakaran rumahnya, pembunuhan, penganiayan, dan perkosaan, yang pasti mengakibatkan penderitaan dan trauma yang bisa berlangsung lama.
Saya belum berani banyak berbicara tentang hal ini, karena memang sedang mulai mempelajarinya lagi, melakukan refleksi, dan tukar-menukar pikiran tentang masalah mayoritas-minoritas ini.Harus saya akui pula sejak awal, bahwa lebih mudah bagi orang seperti saya ini berpretensi berpikir lebih jernih, rasional dan objektif, karena beruntung musibah seperti itu tidak menimpa keluarga ataupun saudara dan teman-teman dekat saya.
Saya juga sadar, berbicara tentang masalah mayoritas-minoritas, apalagi di negeri ini, saya memasuki suatu bidang yang penuh kepekaan, emosi, dan kontroversi. Tetapi kejujuran, keterbukaan, dan kehendak baik yang mendasarinya memberi saya keberanian untuk melakukannya.
       Menghindarinya dan pura-pura masalah itu tidak ada, menggunakan pendekatan “burung unta”, pasti tidak akan membantu memecahkannya. Itulah sikap kita selama ini, juga dalam banyak hal lainnya.
Tentu saja, golongan atau kelompok minoritas di Indonesia ini bukan hanya mereka yang kebetulan keturunan Tionghoa. Ada juga kelompok-kelompok minoritas atas dasar agama, suku, budaya, atau bahasa. Orang-orang yang beragama Buddha, Hindu, Katolik, Kristen-Protestan, atau suku Batak, Toraja, Aceh, dsb., juga merupakan kelompok-kelompok minoritas.Tetapi anehnya, mungkin karena sejarah dan berbagai faktor lainnya, kelompok Tionghoa inilah, kelompok ras, yang selalu menjadi atau dijadikan masalah minoritas yang paling menonjol, meskipun terdapat kelompok-kelompok ras lainnya seperti kelompok Arab.
Ada keanehan lain. Manakala orang berbicara tentang “mayoritas” di negeri ini, orang biasanya menunjuk mayoritas Islam. Saya belum faham benar, mengapa demikian. Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, sudah ada mayoritas etnis, yaitu suku Jawa, yang sampai sekarang masih merupakan mayoritas, konon kira-kira 40% dari jumlah penduduk Indonesia.
Tetapi lama kelamaan saya duga identitas kelompok-kelompok etnis ini semakin sulit dikenali. Saya berharap hal itu akan berlaku juga pada golongan minoritas Tionghoa, kalaupun lebih sulit.
      Tujuan integrasi bangsa, atau pembauran kalau kita berbicara tentang golongan minoritas Tionghoa, tidak berarti harus hilangnya identitas ras atau etnis, meskipun dapat terjadi secara alamiah. Bagi golongan agama, hal itu mungkin mustahil terjadi.
Sebenarnya tidak mudah memberi definisi golongan minoritas. Dapat dikatakan, golongan-golongan minoritas adalah golongan-golongan yang anggota-anggotanya mengalami perlakuan-perlakuan diskriminatif dan seringkali ditempatkan pada kedudukan yang relatif rendah dalam struktur status dari sistim sosial. Status golongan minoritas secara khusus terkaitkan dengan latar belakang ras, suku, agama, budaya, atau bahasa.
Kaitan dengan berbagai latar belakang itu penting. Dari segi jumlah, apa yang kita mengerti sebagai “golongan atas”, bahkan “menengah atas”, entah dari segi kekayaan, pendidikan, atau kekuasaan, mereka itu juga merupakan “minoritas”. Meskipun begitu, mereka itu tidak biasa disebut kelompok minoritas dalam pengertian yang sama ketika kita berbicara tentang minoritas Tionghoa atau Kristen di Indonesia.
 

  • Contoh-contoh “minoritas” seperti itu di antaranya adalah pemerintahan Presiden Saddam Hussein di Irak, yang berasal dari minoritas Islam Suni. Di Yordania, pemerintahan Raja Hussein berasal dari minoritas Beduin. Rezim apartheid di Afrika Selatan dulu adalah kelompok minoritas kulit putih.